Hasil penelitian terkait pengaruh diagnosa anak autism pada hubungan pernikahan orang tua ditemukan berbeda-beda. Pada artikel yang ditulis oleh Alysia Abbot (psychologytoday.com, dipublikasikan pada tahun 2013), National Survey of Children’s Health pada tahun 2007 tidak menemukan bukti yang mendukung bahwa anak-anak penyandang autisme di Amerika memiliki resiko yang lebih tinggi untuk hidup dalam rumah tangga tanpa orang tua lengkap dibandingkan anal-anak dengan perkembangan tipikal. Namun pada tahun 2010, University of Wisconsin, Madison, memaparkan data dari studi jangka panjang yang mereka lakukan pada 391 keluarga bahwa orang tua dari penyandang autisme dua kali lipat lebih banyak bercerai dibandingkan dengan orang tua dengan anak yang tidak menyandang disabilitas apapun, dengan catatan bahwa perbedaan angka perceraian baru timbul ketika anak-anak mereka sudah remaja atau dewasa. Walaupun adanya perbedaan pada hasil penelitian-penelitian tersebut, namun tidak ada yang membuktikan bahwa angka perceraian pada orang tua dengan penyandang autisme mencapai 80%, dan hal ini yang sering salah diasumsikan orang tua bahwa pernikahan mereka akan hancur dengan anak penyandang autisme.
Di sisi lain, para ahli setuju bahwa adanya tingkat stress yang signifikan dialami mereka yang mengasuh anak penyandang autisme. Andrew Solomon, penulis Far from the Tree mencatat bahwa adanya keunikan dari beban yang diberikan penyandang autisme pada orang tua dimana banyak orang tua yang responsif terhadap terapi dimana orang tua hampir memiliki tugas moral untuk berusaha membuat anak mereka berfungsi dengan lebih baik, dimana dengan bantuan literatur-literatur yang makin memfasilitasi orang tua dengan informasi yang dibutuhkan, maka orang tua berusaha untuk mencoba berbagai intervensi yang dapat mereka usahakan. Namun, bukan berarti dengan stress yang dibebankan pada orang tua penyandang autisme, mereka tidak memiliki kemungkinan untuk tetap bertahan. Bagaimana cara orang tua menghadapi stress dalam mengasuh seorang penyandang autisme lah yang memutuskan apakah hubungan mereka akan menemukan titik akhir, atau justru makin mengokoh.
Perasaan yang umumnya muncul adalah adanya periode dimana orang tua mengalami duka dan merasa bersalah setelah diagnosa diberikan. Namun, sangat kecil kemungkinan pasangan memiliki cara dan kecepatan yang sama dalam menghadapi duka, menurut Laura Marshak, seorang professor Indiana University of Pennsylvania. Tambahnya, ekspektasi untuk pasangan dapat menghadapi duka dengan cara dan kecepatan yang sama adalah tidak realistis dan justru menambahkan stress bagi orang tua. Baiknya, pasangan saling memberikan masing-masing kesempatan untuk menghadapi perasaan mereka dengan cara mereka masing-masing. Sebagaimana waktu berjalan, umumnya orang tua yang mengalami masa duka akan dilanjutkan dengan perasaan bersalah. Perasaan bersalah ini dapat muncul karena kenyataan bahwa mereka tidak dapat melakukan apapun terhadap kondisi anak mereka. Solomon menyatakan bahwa adanya perbedaan dimana sebagian orang dapat mengatasi aspek-aspek berat dari autismenya dan tidak pada sebagian lainnya membuat orang tua berpikir keras akan apa yang seharusnya mereka lakukan untuk sang buah hati agar menjadi lebih baik. Pengalaman dari perasaan bersalah umumnya lebih berat pada pihak ibunda dikarenakan adanya hubungan asosiasi antara pengorbanan diri dengan proses mengasuh anak yang mereka lakukan, menurut Marshak.
Kurangnya dukungan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hubungan orang tua dari anak penyandang autisme. Pada beberapa kasus, pemahaman terhadadap sumber masalah berkontribusi dalam penyelesaian masalah. Kemampuan untuk mencari bantuan dan dukungan berperan penting pada kemampuan pasangan dalam menghadapi stress yang didapat dari hasil diagnosa dan proses mengasuh anak penyandang autisme. Pada akhirnya, memang salah satu dari orang tua akan perlu berperan sebagai case manager dari anak mereka. Terlebih lagi jika pasangan tidak berada pihak yang sama terkait penanganan, dan beban dari tanggung jawab ini dapat mengarah pada kebencian dan dapat menciptakan jarak pada hubungan orang tua.
Pembagian “tugas” pada orang tua juga merupakan hal yang penting dalam mengasuh anak penyandang autisme. Marshak menyarankan bahwa pasangan tetap menjaga kerjasama, bahkan sekalipun ketika peran masing-masing berbeda, dan juga tetap terbuka jika ada kemungkinan akan perubahan pada peran masing-masing. Umumnya, pembagian tugas akan terbagi menjadi “si pencari nafkah” dan “si pengasuh anak”. Namun, perlu diingat walaupun adanya perbedaan dalam pendelegasian tugas, penting untuk orang tua yang terlibat dalam pengasuhan anak untuk tetap melibatkan atau menginformasikan pasangannya dalam proses penanganan anak. Sama pentingnya dengan pihak yang lebih fokus dalam mencari nafkah juga perlu memahami beban emosional yang dipikul oleh pihak yang lebih fokus kepada pengasuhan anak, seperti dikemukakan oleh Marshak.
Masalah finansial merupakan beban yang suga dipikul pasangan dalam mengasuh penyandang autisme. Keunikan dari masalah finansial mereka dibandingkan masalah finansial orang tua anak-anak perkembangan tipikal adalah dikarenakan adanya pengeluaran yang tinggi dalam proses pengasuhan seperti untuk menjaga diet anak dan membiayai terapi, namun disisi lain mereka juga memiliki hambatan untuk bekerja dengan waktu kerja yang lebih panjang dikarenakan peran mereka yang penting dalam proses pengasuhan anak secara langsung. Kurang fleksibelnya waktu kerja mereka mempengaruhi penghasilan mereka. Namun, masalah yang lebih besar adalah ketika tidak adanya kemampuan pasangan untuk melihat masalah finansial dari sudut pandang yang sama, yang mana berpengaruh fatal bagi hubungan mereka.
Hingga pada akhirnya, walaupun memang diagnosa anak mempengaruhi hubungan pasangan, unsur utama yang paling mempengaruhi hubungan adalah kekuatan hubungan itu sendiri. Jika memang pasangan memiliki kemampuan komunikasi atau penyelesaian masalah yang rendah, maka dari awal memang hubungan mereka lah yang beresiko. Namun bagi mereka yang memiliki kemampuan komunikasi dan penyelesaian yang baik, maka justru dengan adanya diagnosa, hubungan pasangan justru menjadi lebih kuat dan kokoh dengan kerjasama yang dituntut dalam mengasuh seorang penyandang autisme. Satu sifat yang dimiliki pasangan yang tetap kuat meskipun dihadapkan dengan stress dalam mengasuh penyandang autisme adalah fleksibiltas. Ahli menyatakan bahwa faktor penting dalam hubungan adalah adaptabilitas terhadap pasangan. Mereka yang dapat mengomunikasikan dengan baik permasalahan yang serius serta memiliki toleransi terhadap perbedaan tanpa keberpihakan adalah termasuk mereka yang memiliki kemungkinan lebih besar untuk berhasil dalam menjaga hubungan mereka.
Diringkas dan diterjemahkan dari:
“Love In The Time of Autism” oleh Alysia Abbott